Menggali lembaran epistemologi sebuah tradisi agama melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern tak selamanya mulus. Masalah sudut pandang dan interpretasi kembali menjadi titik pijak perdebatan intelektual yang kunjung belum usai, termasuk di Mesir. Setelah Thaha Husain, Amin al-Khulli, Muhammad Ahmad Khalafullah, mauun Ali Abdul Razik, harus berhadapan dengan sebuah wewenang yang menyebut dirinya sebagai penjaga kemurnian tradisi, maka Nasr Hamid Abu Zaid, tokoh yang dikaji dalam buku ini, pun ikut menuai badai.
Tradisi dan modernitas kembali dipertaruhkan. Pandangan-pandangan kritisnya dianggap telah menodai keluhuran sebuah tradisi agung yang tak perlu diungkit kembali. Kritik wacana penyebabnya. Uniknya, Nasr Abu Zaid, yang dalam komunitas di sekitarnya di tolak, termasuk di kalangan par aulama Mesir otoritatif, justru mendapatkan apresiasi yang tak kalah besar di luar kampung halamannya, termasuk di kalangan para mahasiswa. Kendati ia harus diseret ke pengadilan, dan diharuskan bercerai dengan istrinya, karena telah dianggap keluar dari Islam, namun gairah intelektual tak pernah menyurutkan dirinya untuk berkarya.
Buku ini mengajak anda untuk berdialog dengan Nasr Hamid Abu Zaid, melalui beberapa karyanya yang oleh para seterunya dianggap telah menyimpang dan bahkan pernah dilarang untuk diedarkan.
Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan, Nasr Hamid Abu Zaid (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete